Selasa, 27 Mei 2008

konstrutivisme

Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan satu pendekatan yang didapati sesuai dipraktikkan dalam pengajaran dan pembelajaran sains. Dalam pendekatan ini murid dianggap telah mempunyai idea yang tersendiri tentang sesuatu konsep yang belum dipelajari. Idea tersebut mungkin benar atau tidak.

Konstruktivisme melibatkan lima fasa, iaitu:
1. Guru meneroka pengetahuan sedia ada murid pada permulaan sesuatu pelajaran melalui soal jawab atau ujian.
2. Guru menguji idea atau pendirian murid melalui aktiviti yang mencabar idea atau pendiriannya.
3. Guru membimbing murid menstruktur semula idea.
4. Guru memberi peluang kepada murid mengaplikasikan idea baru yang telah diperoleh untuk menguji kesahihannya.
5. Guru membimbing murid membuat refleksi dan perbandingan idea lama dengan idea yang baru diperoleh.

progresivisme

PROGRESIVISME

Tujuan Progresivisme

Meningkatkan masyarakat sosial demokratis.

Pemikiran Progresivisme

Progresivisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar “dunia nyata”, dan juga pengalaman teman sebaya.

Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progresivisme” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya dari pada mata pelajaran itu sendiri. Maka munculah “child centered curriculum” dan “child centered school”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas, seperti yang diungkapkan Dewey dalam bukunya “my pedagogical creed”, bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Jadi aplikasi ide Dewey adalah anak-anak banyak berpartisipasi dalam kegiatan fisik dulu, baru peminatan.

Asas belajar

Pandangan mengenai belajar, filsafat progresivisme mempunyai konsep bahwa anak didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Kelebihan anak didik memiliki potensi akal dan kecerdasan dengan sifat kreatif dan dinamis, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problemanya.

Pendidikan sebagai wahana yang paling efektif dalam melaksanakan proses pendidikan tentulah berorientasi kepada sifat dan hakikat anak didik sebagai manusia yang berkembang. Usaha-usaha yang dilakukan adalah bagaimana menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi-motivasi dan stimuli-stimuli sehingga akal dan kecerdasan anak didik dapat difungsikan dan berkembang dengan baik.

John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi. Artinya disini sebagai proses pertumbuhan dan proses dimana anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup disekolah saja.

Jadi sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Artinya sekolah adalah bagian dari masyarakat. Untuk itu sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik dan kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah dimana lingkungan itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah filsafat progresivisme menghendaki isi pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuar” atau “learning by doing”.

Tegasnya, akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui bahwa sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge atau pemindahan pengetahuan akan tetapi sekolah juga berfungsi sebagai transfer of value atau pemindahan nilai-nilai, sehingga anak menjadi trampil dan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.

John Locke mengemukakan, bahwa sekolah hendaknya ditujukan untuk kepentingan pendidikan anak. Kemudian Jean Jacques Rosseau menyatakan anak harus dididik sesuai dengan alamnya, jangan dipandang dari sudut orang dewasa. Anak bukanlah miniatur orang dewasa, tetapi anak adalah anak dengan dunianya sendiri, yaitu berlainan sekali dengan alam orang dewasa.

Hal yang harus diperhatikan guru adalah "anak didik bukan manusia dewasa yang kecil" yang dapat diperlakukan sebagaimana layaknya orang dewasa. Guru harus mengetahui tahap-tahap perkembangan anak didik lewat ilmu psikologi pendidikan. Sehingga guru akan dapat mengetahui kapan dan saat bagaimana materi itu diajarkan. Pertolongan pendidikan dilaksanakan selangkah demi selangkah (step by step) sesuai dengan tingkat dan perkembangan psikologis anak.
Di samping itu, anak didik harus diberi kemerdekaan dan kebebasan untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan cara dan kemampuannya masing-masing dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan daya kreasi anak. Untuk itu pendidikan hendaklah yang progresive. Di sini prinsip kebebasan prilaku, di mana anak sebagai subyek pendidikan, sedangkan guru sebagai pelayan siswa.

Hal ini menunjukan bahwa John Dewey ingin mengubah bentuk pengajaran tradisional dimana ditandai dengan sifat verbalisme dimana terdapat cara belajar DDCH atau duduk, dengar, catat, hafal, murid bersifat reseptif dan pasif saja. Hanya dengan menerima pengetahuan sebanyak-banyaknya dari guru, tanpa melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Guru mendominasi kegiatan belajar, tanpa memberikan kebebasan kepada murid untuk bersifat dan berbuat. Menjadi pendidikan yang progresif, yaitu tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan bukanlah hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik saja, melainkan yang terpenting ialah melatih kemampuan berpikir secara ilmiah. Semua itu dilakukan oleh pendidikan agar orang dapat maju atau mengalami progress. Dengan demikian orang akan dapat bertindak dengan intelegen sesuai dengan tuntutan dari lingkungan

Dari uraian di atas, dapatlah diambil suatu konklusi asas progresivisme dalam belajar bertitik tolak dari asumsi bahwa anak didik bukan manusia kecil, tetapi manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, setiap anak didik berbeda kemampuannya, individu atau anak didik adalah insan yang aktif kreatif dan dinamis dan anak didik punya motivasi untuk memenuhi kebutuhannya.

Kurikulum Progresivisme

Selain kemajuan atau progres, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Untuk itu filsafat progresivisme menunjukkan dengan konsep dasarnya sejenis kurikulum yang program pengajarannya dapat mempengaruhi anak belajar secara edukatif baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah, tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang baik pula.

Pendidikan dilaksanakan di sekolah dengan anggapan bahwa sekolah dipercaya oleh masyarakat untuk membantu perkembangan pribadi anak. Faktor anak merupakan faktor yang cukup urgen (penting), karena sekolah didirikan untuk anak. Karena itu hak pribadi anak perlu diutamakan, bukan diciptakan sekehendak yang mendidiknya. Dengan kata lain anak hendaknya dijadikan sebagai subyek pendidikan bukan sebagai obyek pendidikan.

Untuk memenuhi keutuhan tersebut, maka filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sekolah didirikan karena tidak mempunyai orangtua atau masyarakat untuk mendidik anak. Karena itu kurikulum harus dapat mewadahi aspirasi anak, orangtua serta masyarakat. Maka kurikulum yang edukatif dan eksperimental dapat memenuhi tuntutan itu. Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum.

Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian core curriculum mengandung ciri-ciri integrated curriculum, metode yang diutamakan yaitu problem solving.

Dengan adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Dengan berlandaskan sekolah sambil berbuat inilah praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di kebun (Iapangan) merupakan kegiatan belajar yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing. Dalam hal ini, filsafat progresivisme ingin membentuk keluaran (out-put) yang dihasilkan dari pendidikan di sekolah yang memiliki keahlian dan kecakapan yang langsung dapat diterapkan di masyarakat luas.

perenialism

Sedangkan perenialism menghendaki pendidikan kembali pada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tatanan kehidupan yang ditentukan secara rasional. Dan rekonstruksionalism menginginkan pendidikan yang membangkitkan kemampuan peserta didik untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai dampak dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana bebas (Imam Barnadib, 1987: 26). Akan tetapi kemudian yang menjadi sebuah pertanyaan, di antara empat aliran tersebut, mana yang secara ideal bisa dijadikan dasar filosofis pendidikan Islam?

Yang jelas adalah bahwa konsep pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan Barat. Pendidikan Islam dalam hal ini sangat memerlukan intervensi wahyu dalam menjawab masalah pendidikan. Sementara pendidikan Barat lebih menonjolkan dan mengagungkan rasio, lewat para pakarnya, tanpa konsultasi dengan wahyu (Muhaimin, 1991: 18).

Namun yang perlu dimengerti bahwa ketika pendidikan Islam dihadapkan pada problem dasar pendidikannya, maka menurut Naquib al Attas dan al Jamaly cenderung kearah progresivisme dan perenialisme/essensialisme (Muhaimin, 2003: 28). Sementara bagi Muhaimin dapat dikatakan bahwa konsep dasar filosofis pengembangan kurikulum pendidikan Islam dilandasi oleh paduan dari progresivisme dan essensialisme plus. Progresivisme plus berarti bahwa pengembangan kurikulum pendidikan Islam menempatkan anak didik sebagai individu yang mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam rangka meraih kebahagiaan hidupnya. Dalam rangka meraih itu diperlukanm terobosan dan gagasan yang handal dalam rangka memnuhi tuntutan jaman. Tetapi kemudian tak dapat dipungkiri bahwa terobosan tersebut sering sangat peka dan sangat rentan. Sehingga dalam hal ini diperlukan kendali berupa esensi-esensi berupa nilai–nilai ilahi serta insani yang bersumber dari Allah dan rasul-Nya. Sehingga di sinilah essensialisme plus mengambil perannya (Muhaimin, 1991: 22-23).

Sementara itu tujuan pendidikan merupakan landasan bagi pemilihan materi serta strategi penyampaian materi terseburt. Tujuan akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen lainnya. Tujuan pendidikan harus berorientasi pada pada hakekat pendidikan yang meliputi beberapa aspek, antara lain: tujuan dan tugas hidup manusia, memperlihatkan sifat-sifat dasar (nature) manusia, tuntutan masyarakat, serta dimensi-dimensi kehiduapn ideal Islam (Fu’adi, 2003: 428-429). Dengan memperhatikan hakekat pendidikan Islam tersebut, akan didapatkan sebuah gambaran bagaimanakah seharusnya suatu suatu tujuan pendidikan dirumuskan, agar tujuan pendidikan benar-benar cocok untuk direalisasikan.

Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Menurut Hummel, seperti dikutip Akhmad Sudrajat, tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:

1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.

2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.

3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)

Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.

Sementara itu, terkait dengan tujuan pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip Maksum pada dasarnya adalah tujuan hidup manusia itu sendiri, sebagaimana tersirat dalam Q.S. al Dzariyat ayat 51 :

وما خلقت الجنّ والإنس إلاّ ليعبدون ( الذاريات : 51)

Artinya : “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembahku”.

Bagi Langgulung tugas pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia (Maksum, 1999: 45). Selain itu masih banyak para pakar yang memberikan rumusan tentang tujuan pendidikan Islam seperti: Imam al Ghazali, Alamsyah Ratu Prawiranegara, Moh. Athiyah al Abrosyi, Abdurrahman Nahlawy, Moh. Said Ramdhan El Buthi, Zakiyah Daradjat, dan lainnya.

Namun dari rumusan para pakar tersebut, sebenarnya bisa ditegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam bila ditinjau dari cakupannya dibagi menjadi tiga yaitu (1) dimensi imanitas, (2) dimensi jiwa dan pandangan hidup Islami (3) dimensi kemajuan yang peka terhadap perkebmangan IPTEK serta perubahan yang ada. Sedangkan bila dilihat dari segi kebutuhan ada dimensi individual dan dimensi sosial (Muhaimin, 1991: 30).