Selasa, 22 April 2008

contoh angket sederhana SELF ASSEMENT

lima karakter guru terbaik menurut saya :
  • bersikap adil kepada murid dalam segala hal seperti memberikan nilay secara objektip
  • datang tepat waktu untuk mengajar
  • taat pada peraturan sekolah
  • bisa memahami kondisi murid
  • bersikap baik kepada murid tanpa memandang status sosial murid tersebut
lima karakter guru terburuk
  • meroko dalam kelas
  • menjelaskan pelajaran dengan suara keras
  • suka terlambat ketika masuk kelas
  • terlalu lama menjelaskan pelajaran ,sehingga menyita waktu guru lain
  • bersikap pilih kasih pada muridnya

Minggu, 13 April 2008

teori rasou

walnya ia bekerja sebagai musisi di gereja sekaligus penginjil. Namun kini, ia berkeliling dunia dan telah banyak mengislamkan orang


ImageDr. Yusuf Estes lahir tahun 1944 di Ohio, AS. Tahun 1962 hingga 1990 ia bekerja sebagai musisi di gereja, penginjil sekaligus mengelola bisnis alat musik piano dan organ. Awal 1991 ia terlibat bisnis dengan seorang pengusaha Muslim asal Mesir bernama Muhammad Abd Rahim. Awalnya ia bermaksud meng-Kristenkan pria Mesir itu. Namun akhirnya ia justru memeluk Islam diikuti oleh istri, anak-anak, ayah serta mertuanya. Ia menguasai bahasa Arab secara aktif, demikian juga ilmu Al-Quran selepas belajar di Mesir, Maroko dan Turki. Sejak 2006, Yusuf Estes secara regular tampil di PeaceTV, Huda TV, demikian pula IslamChannel yang bermarkas di Inggris. Ia juga muncul dalam serial televisi Islam untuk anak-anak bertajuk "Qasas Ul Anbiya" yang bercerita tentang kisah-kisah para Nabi.



Yusuf terlibat aktif di berbagai aktifitas dakwah. Misalnya, ia menjadi imam tetap di markas militer AS di Texas, dai di penjara sejak tahun1994, dan pernah menjadi delegasi PBB untuk perdamaian dunia. Syekh Yusuf telah meng-Islam-kan banyak kalangan, dari birokrat, guru, hingga pelajar. Berikut kisah Syekh Yusuf sebagaimana dituturkannya di situs www.islamtomorrow.com. Di bawah ini adalah penuturannya.



***



Nama saya Yusuf Estes. Saat ini dipercaya memimpin sebuah organisasi bagi Muslim asli Amerika. Kini sepanjang hidup saya berikan untuk Islam. Saya berkeliling dunia untuk memberikan ceramah dan berbagi pengalaman bagaimana Islam hadir dalam diri saya. Organisasi kami terbuka untuk berdialog dengan berbagai kalangan. Misalnya para pemuka agama seperti pendeta, rabi (ulama kaum Yahudi-red) dan lainnya dimanapun mereka berada.



Kebanyakan medan kerja kami adalah kawasan institusional seperti pusat militer, universitas, hingga penjara. Tujuan utama adalah untuk menunjukkan Islam yang sebenarnya dan memperkenalkan bagaimana hidup sebagai seorang Muslim. Meskipun Islam saat ini berkembang sebagai salah satu agama terbesar kedua setelah Kristen, namun masih banyak saja terjadi misinformasi tentang Islam. Misalnya Islam selalu diidentikkan dengan hal berbau Arab.



Banyak orang bertanya pada saya bagaimana mungkin seorang pendeta atau pastur Kristen bisa masuk Islam. Padahal tiap hari kami menyampaikan kebenaran Kristen. Belum lagi dengan berita-berita negatif tentang perilaku buruk Islam di media. Pasti tidak ada orang yang tertarik dengan Islam. Pernah seorang pria Kristen bertanya pada saya melalui e-mail kenapa dan bagaimana saya meninggalkan Kristen dan masuk Islam. Saya berterima kasih pada semua yang bersedia mendengar kisah saya berikut ini. Semoga Allah ridha.



Keluarga Kristen taat



Saya lahir di Ohio, besar dan bersekolah di Texas. Dalam tubuh saya mengalir darah Amerika, Irlandia dan Jerman hingga sering disebut WASP (white anglo saxon protestant). Keluarga kami adalah penganut Kristen yang sangat taat. Tahun 1949, ketika masih di bangku SD kami pindah ke Houston, Texas. Saya dan keluarga sering hadir secara rutin ke gereja. Malah saya dibaptis pada usia 12 tahun di Pasadena, masih Texas.



Sebagai seorang remaja, saya punya keinginan untuk bisa berkunjung ke banyak gereja di berbagai tempat guna menambah pengalaman dan pengetahuan Kristen. Kala itu saya benar-benar haus untuk mempelajari ajaran Kristen. Tidak hanya ajaran Kristen, bahkan ajaran Hindu, Budha, Yahudi,hingga Metafisika juga saya pelajari. Hanya satu ajaran yang saya tidak begitu serius dan bahkan tidak menaruh perhatian sama sekali, yakni Islam.



Saya suka musik terutama klasik. Hingga saya sering dapat undangan menyanyi di berbagai gereja. Di kisaran tahun 1960-an saya mengajar musik dan tahun 1963 punya studio sendiri di Laurel, Maryland yang saya beri nama "Estes Music Studios." Hingga tahun 1990 atau hampir 30 tahun lamanya saya bersama dengan ayah mengelola bisnis entertainment. Kami juga punya toko alat musik piano dan organ di Texas, Oklahoma hingga Florida.



Ayah dulu pernah aktif dalam aneka kegiatan gereja. Dari sekolah minggu hingga aktifitas penggalangan dana bagi pengembangan sekolah Kristen. Dia sangat menguasai Bibel dan juga terjemahannya. Melalui ayah pula saya belajar Bibel dalam berbagai versi dan terjemahan.



Ayah saya, seperti kebanyakan pendeta lainnya, selalu mendapat pertanyaan:"Apakah Tuhan yang menulis Bibel?" Biasanya jawabannya adalah: "Bibel adalah rangkaian kata inspirasi seorang lelaki yang berasal dari Tuhan." Itu bermakna, menurut saya, manusialah yang menulis Bibel. Tentu saja, selama bertahun-tahun, jawaban itu menimbulkan banyak tanggapan bahkan penolakan. Namun ayah selalu menambahkan,"Akan tetapi (Bibel) itu tetap kata dari Tuhan yang diilhamkan kepada manusia." Begitulah.



Mencari Tuhan



Beranjak dewasa dan memiliki usaha sendiri, akhirnya saya "menyerah". Saya tidak mungkin jadi seorang pendeta. Saya takut bermental hipokrit. Saya belum bisa menerima tentang konsep Tuhan itu satu namun pada saat yang sama Dia menjadi "Tiga" atau Trinitas. Saya selalu bertanya-tanya, jika Dia "Tuhan Bapa" bagaimana mungkin pada saat yang sama juga menjadi "Anak Tuhan?"



Selama bertahun-tahun saya mencoba mencari Tuhan dengan berbagai cara. Saya pelajari dan cek dalam agama Budha, Hindu Metafisika, Taoisme, Yahudi dan banyak lagi. Bertahun-tahun saya pelajari hingga mendekati usia ke-50 saya belum menemukan siapa Tuhan yang sebenarnya. Lalu saya mencoba bergaul dengan banyak kalangan, termasuk dengan para evangelis dan penginjil yang punya pengalaman di berbagai tempat dan negara. Kami sering melakukan perjalanan jauh. Namun tidak ada jawaban yang memuaskan. Tidak ada yang mau menjawab siapa yang menulis Bibel sebenarnya, kenapa Bibel banyak versi padahal bukunya sama, kenapa banyak sekali terdapat kesalahan versi terkini dengan versi terdahulu. Dan, bahkan, dalam berbagai versi Bibel, saya tidak menemukan satupun kata "Trinitas."



Kolega saya akhirnya tidak mampu meyakinkan saya. Mereka lelah mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan "nyeleneh" tersebut. Sampai akhirnya datanglah satu kejadian yang merupakan awal perjumpaan saya dengan Islam. Kejadian yang akhirnya meruntuhkan semua konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang telah membebani saya selama bertahun-tahun. Solusi dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya datang justru dengan cara, yang menurut saya, aneh dan ganjil.



Jumpa pria Mesir



Ceritanya, awal 1991 ayah mencoba menjalin bisnis dengan seorang pengusaha dari Mesir. Ia meminta saya untuk bertemu dengan pria Mesir itu. Bagi saya inilah kali pertama mengadakan kontak bisnis internasional. Yang saya tahu tentang Mesir adalah piramid, patung Sphinx, dan sungai Nil. Hanya itu. Lalu ayah menyebut bahwa pria itu seorang Muslim.



Apa? Islam? Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Menjalin hubungan dengan orang Islam? Spontan batin saya menolak. Tidak, no way! Saya mengingatkan ayah agar membatalkan kontak dengan pria itu dengan menyebut hal-hal negatif tentang orang Islam. Orang Islam teroris, pembajak, penculik, pengebom, dan entah apa lagi. Saya sebut juga mereka (orang Islam) tidak percaya dengan Tuhan, tiap hari kerjanya mencium tanah lima kali sehari, dan menyembah kotak hitam di tengah padang pasir (maksudnya Ka'bah-red.). Tidak! Saya tidak mau jumpa orang itu.



Ayah tetap mendesak. Ia menyebut orang itu sangat ramah dan baik hati. Akhirnya saya menyerah dan bersedia bertemu dengan pengusaha Islam tersebut. Tapi untuk pertemuan tersebut saya buat semacam "aturan" khusus. Antara lain; saya mau bertemu dengannya pada hari Minggu setelah kegiatan di gereja, sehingga punya "kekuatan" kala bertemu nanti. Saya musti bawa Bibel, pakai baju jubah dan peci ala gereja bertuliskan "Yesus Tuhan Kami." Istri dan kedua anak perempuan saya juga harus datang di saat pertemuan pertamakali dengan orang Islam itu.



Tibalah hari H. Ketika saya masuk toko, langsung saya tanya pada ayah mana orang Islam itu. Ayah menunjuk seorang laki-laki di dekatnya. Mendadak saya dilanda kebingungan. Ah sepertinya pria itu bukan si Islam yang dimaksud. Hati saya membatin. Penampilannya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Laki-laki asal Mesir itu tidak berjanggut, bahkan tidak punya rambut sama sekali alias botak. Ia tidak bersorban dan tidak pula berjubah. Malah pakai jas.



Spontan saya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Mengamati orang-orang yang hadir. Saya mencari-cari orang yang pakai jubah dengan surban melilit di kepalanya, berjenggot lebat serta alis mata tebal. Khas orang Arab. Namun tidak ada seorangpun yang memenuhi kriteria saya. Yang lebih mengejutkan, pria itu malah menegur saya dengan sangat ramah. Ia menyambut dan menjabat tangan saya dengan hangat. Namun saya tidak terkesan dengan tingkahnya itu. Hanya ada satu pikiran, yakni bagaimana meng-Kristenkan pria Mesir itu.



Interogasi



Selepas perkenalan singkat, saya pun mulai "menginterogasi" pria Mesir tersebut. Anda percaya dengan Tuhan? tanya saya mengawali. Pria itu menjawab ya. Saya mencocornya lagi dengan rentetan pertanyaan lain seperti keyakinan Islam kepada Nabi Adam, Ibrahim. Musa, Daud, Sulaiman hingga Isa Al-Masih. Saya dibuat terpana kala mendengar jawabannya. Ia menjelaskan Islam percaya dengan Nabi-Nabi yang saya sebut tadi. Bahkan makin ternganga kala diberitahu Islam juga beriman dengan salah satu Kitab Allah yakni Injil dan Nabi Isa adalah salah satu utusan-Nya. Fantastik!



Yang bikin saya syok adalah tatkala mengetahui ternyata Islam juga percaya dengan Almasih (baca: Nabi Isa). Dalam Islam ternyata Isa diimani; sebagai utusan Tuhan dan bukan Tuhan, lahir tanpa seorang ayah, ibunya adalah Maryam. Ini sudah lebih dari cukup bagi saya untuk mempelajari Islam lebih lanjut. Ah padahal sebelumnya saya sangat benci dengan Islam. Kini saya harus mempelajarinya? Bagaimana mungkin?



Akhirnya kami jadi sering bertemu dan berdiskusi terutama tentang keimanan. Pria ini sangat lain. Ramah, kalem, dan terkesan pemalu. Ia mendengar dengan serius setiap kata-kata saya dan tidak menyela sedikitpun. Lama kelamaan saya jadi menyukai pria itu. Namun waktu itu yang masih terpikir oleh saya adalah mencari cara untuk mengajaknya masuk Kristen. Orang ini sangat potensial menurut saya.



ImageMenjadi mitra bisnis




Saya akhirnya setuju untuk menjalin bisnis dengan pengusaha Mesir itu. Kami sering mengadakan perjalanan bisnis di sepanjang kawasan Utara Texas. Sepanjang hari kami justru banyak berdiskusi hal keyakinan Islam dan Kristen ketimbang masalah bisnis. Kami bicara tentang konsep Tuhan, arti hidup, maksud penciptaan manusia dan alam serta isinya, tentang Nabi, dan banyak lainnya lagi.


Satu ketika saya dapat kabar Muhammad bermaksud pindah rumah. Selama ini ia tinggal bersama dengan seorang temannya. Ia berencana untuk tinggal di mesjid selama beberapa waktu. Saya dan ayah mengajaknya tinggal di rumah kami saja. Ia pun setuju.



Satu ketika salah seorang teman saya –seorang pendeta- mengalami serangan jantung. Kami membawanya ke rumah sakit terdekat dan tinggal beberapa saat disana. Saya pun musti menjenguknya beberapa kali dalam seminggu. Muhammad sering saya ajak serta. Rupanya teman saya itu tidak begitu suka. Bahkan ia dengan nyata menolak berdiskusi apapun tentang Islam. Hingga satu hari datang pasien baru. Seorang pria yang kemudian tinggal satu kamar di rumah sakit dengan teman saya. Ia menggunakan kursi roda. Saya berkenalan dengan pria itu. Sekilas tampaknya pria itu seperti sedang depresi berat.



Pria di kursi roda mencari Tuhan



Akhirnya saya tahu pria itu kesepian dan depresi berat serta butuh teman dalam hidupnya. Jadilah saya mencoba mengingatkan dia tentang Tuhan. Saya kisahkan tentang Nabi Yunus yang hidup dalam perut ikan. Sendirian dalam gelap namun masih ada Tuhan bersamanya.



Selepas mendengar kisah itu, pria berkursi roda itu mendongakkan kepalanya seraya meminta maaf. Ia menceritakan bahwa ada sedikit masalah yang melandanya. Selanjutnya ia ia ingin mengakuinya kesalahannya itu di hadapan saya. Saya berujar bahwa saya bukan seorang pendeta. Pria itu justru menjawab; "Sebenarnya saya dulu seorang pendeta."



"Apa? Saya barusan menceramahi seorang pendeta ? Saya benar-benar syok kala itu. Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi dengan dunia ini sebenarnya?



Rupanya pendeta itu –namanya Peter Jacobs- adalah mantan misionaris yang telah berkeliling Amerika Latin dan Meksiko selama 12 tahun. Kini ia malah depresi dan butuh istirahat. Saya menawarkannya untuk tinggal di rumah kami. Dalam perjalanan ke rumah, saya berdiskusi dengan Peter tentang Islam. Saya sungguh terkejut kala diberitahu para pendeta Kristen juga belajar tentang Islam dan bahkan sebagiannya ada yang doktor di bidang itu. Ini hal baru bagi saya tentunya.



Sejak itu, Muhammad, Peter dan saya sering terlibat diskusi hingga larut malam. Satu ketika masuk ke masalah kitab-kitab suci. Saya takjub kala Muhammad menceritakan bahwa dari pertama diturunkan hingga saat ini atau selama 1400 tahun Al-Quran hanya ada satu versi. Al-Quran dihafal oleh jutaan Muslim di seluruh dunia dengan satu bahasa yaitu Arab. Sungguh mustahil. Bagaimana mungkin kitab suci kami bisa berubah-ubah dengan berbagai versi sementara Al-Quran tetap terpelihara?



Sang pendeta masuk Islam!



Satu hari pendeta Peter Jacobs ingin melihat apa yang dilakukan orang Islam di Mesjid. Ia pun ikut Muhammad. Sepulang dari sana saya bertanya pada Peter ada kegiatan apa di sana. Peter menyebut tidak ada acara apa-apa di mesjid. Mereka (orang Islam) cuma datang dan shalat saja. Tidak ada acara seremoni apapun. Apa? tidak ada ceramah atau nyanyian apapun?




Beberapa hari kemudian Peter minta ikut lagi ke mesjid. Namun kali ini lain. Mereka tidak pulang-pulang hingga larut malam. Saya khawatir sesuatu terjadi terhadap mereka. Akhirnya Muhammad kembali dengan seorang pria berjubah. Saya sungguh terkejut dengan laki-laki yang datang bersama Muhammad itu. Ia mengenakan jubah dan topi putih. Ah rupanya si Peter. Ada apa dengan kamu tanya saya. Jawaban Peter bak petir di siang bolong. Ia menyebut sudah bersyahadah. Oh Tuhan! Apa yang terjadi? Pendeta masuk Islam?



Saya benar-benar syok dan semalaman tidak bisa tidur memikirkan hal itu. Saya ceritakan kejadian tersebut kepada istri. Istri saya justru menyatakan ia juga ingin masuk Islam, karena itulah yang benar. Oh Tuhan! Saya benar-benar tidak percaya.



Saya turun ke bawah dan membangunkan Muhammad seraya minta waktu diskusi dengannya. Sepanjang malam hingga subuh kami bertukar pendapat. Muhammad minta izin shalat Subuh. Ketika itu saya mendapat firasat, kebenaran telah datang. Saya harus membuat pilihan. Lalu saya keluar rumah. Persis di belakang rumah, saya memungut sepotong papan. Lalu saya letakkan papan itu menghadap ke arah orang Islam shalat. Saya pun bersujud menghadap kiblat dan meminta petunjuk-Nya.



ImageSekeluarga masuk Islam



Pagi itu, pukul 11, saya bersyahadah di hadapan dua orang saksi, mantan pendeta Peter Jacobs dan Muhammad Abd. Rahman. Alhamdulillah, di usia ke-47 saya jadi seorang Muslim. Beberapa menit kemudian istri saya juga ikut bersyahadah. Ayah baru memeluk Islam beberapa bulan kemudian. Sejak itu saya dan ayah sering ke mesjid terdekat di kota kami. Ayah mertua saya akhirnya juga mengikuti kami. Di usianya yang ke-86 ia memeluk Islam. Mertua saya meninggal persis beberapa bulan selepas bersyahadah. Semoga Allah ampuni dia. Amiin.



Adapun anak-anak saya pindahkan dari sekolah Kristen ke sekolah Islam. Setelah sepuluh tahun bersyahadah, mereka telah mampu menghafal beberapa juz Al-Quran.



Sejak itu saya habiskan waktu hanya untuk Islam. Saya berdakwah ke mana-mana, hingga ke luar Amerika. Banyak sudah yang memeluk Islam. Baik dari kalangan birokrat, guru, dan pelajar dari berbagai agama. Dari Hindu, Katolik, Protestan, Yahudi, Rusia Orthodok, hingga Atheis. Saat ini saya juga mengelola sebuah website yakni Islamalways.com yang punya motto terkenal, " where we're always open 24 hours a day and always plenty of free parking." (kami buka 24 jam sehari dan banyak tempat parkir gratis).


Islam telah mengubah cara saya melihat kehidupan ini dengan lebih bermakna. Semoga Allah pelihara hidayah yang sudah ada pada kita dan sebarkan hidayah itu ke seluruh alam. Amin. [Zulkarnain Jalil

teori thorndike


PEMIKIRAN EDWARD LEE THORNDIKENov 15, '07 10:31 AM
for everyone

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teori belajar selalu bertolak dari sudut pandangan psikologibelajar tertentu. Dengan perkembangannya psikologi dalam pendidikan, maka berbarengan dengan itu bermunculan pula berbagai teori tentang belajar, justeru dapat dikatakan bahwa dengan tumbuhnya pengetahuan tentang belajar. Maka psikologi dalam pendidikan menjadi berkembang sangat pesat. Didalam masa perkembangan psikologi pendidikan dijaman mutakkhir ini muncullah secara beruntun beberapa aliran psikologi pendidikan, masing-masing yaitu :

- Psikologi Behavioristik

- Psikologi Kognitif, dan

- Psikologi Humanistic.

B. Permasalahan

Dari ketiga aliran psikologi tersebut, behavioristik adalah merupakan salah satu aliran yang dimiliki oleh Edward Lee Thorndike sehingga dalam makalah ini penulis akan mengangkat tentang :

1. Biografi Edward Lee Thorndike

2. Bagaimana teori-teori Edward L.T. ?, dan

3. Apa saja hukum-hukum yang digunakan Edward L.T. ?

C. Batasan Masalah

Dalam pembahasan masalah, penulis membatasi ruang lingkup hanya pada ketiga aspek tersebut diatas.

D. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk menambah wawasan pengetahuan mahasiswa/mahasiswi pada muta kuliah psikologi pendidikan terutama tentang pemikiran dan teori-teori Edward Lee Thorndike sesuai dengan makalah yang penulis susun.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Edward Lee Thorndike

Edward lee thorndike meski secara teknis seorang fungsionalis, namun ia telah membentuk tahapan behaviorisme Rusia dalam versi Amerika. Thorndike (1874-1949) mendapat gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895, dan master dari Hardvard pada tahun 1897. ketika disana, dia mengikuti kelasnya Williyams James dan merekapun cepat menjadi akrab.dia menerima bea siswa di Colombia, dan mendapatkan gelar PhD-nya tahun 1898. kemudian dia tinggal dan mengajar di Colombia sampai pension pada tahun 1940.[1]

Dan dia menerbitkan suatu buku yang berjudul “Animal intelligence, An experimental study of associationprocess in Animal”. Buku ini yang merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung.yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak laian sebenaranya adalah asosiasi, suatu stimulum akan menimbulkan suatu respon tertentu.

Teori ini disebutdengan teori S-R. dalam teori S-R di katakana bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (Hewan, Orang) belajar dengan cara coba salah (Trial end error). Kalau organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serentakan tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Berdasarkan pengalaman itulah , maka pada saat menghadai masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus di keleluarkan nya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Seekor kucing misalnya, yang di masukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar dan sebagainya sampai suatu saat secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka. Sejak itu, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandag yang sama.[2]

B. Teori Belajar yang di Kemukakan Edward Leer Thorndike

Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di amerika serikat di dominasi oleh pengaruh dari Thorndike (1874-1949) teori belajar Thorndike di sebut “ Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut “Trial and error” dlam rangkan menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.

Objek penelitian di hadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.

Ciri-ciri belajar dengan trial and error :

    1. Ada motif pendorong aktivitas
    2. ada berbagai respon terhadap situasi
    3. ada aliminasi respon-respon yang gagal atau salah
    4. ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.[3]

C. Hukum-Hukum yang digunakan Edward Lee Thorndike

1. Hukum latihan :

Hukum ini pada dasarnya sama dengan hukum prekuensinya Aristoteles, jika asosiasi (atau koneksi neural) lebih sering digunanakan, maka koneksinya akan lebih kuat, sedangkan yang paling kurang penggunaannya, maka paling lemahlah koneksinya, dua hal inilah yang berturut-turut disebut dengan hukum kegunaan dan ketidak bergunaan.

2. Hukum epek

Ketika sebuah asosiasi kemudian di ikuti dengan keadaan yang memuaskan, maka hasilnya menguat begitu juga sebaliknya ketika sebua asosiasi di ikuti dengan keadaanyang memuaskan, maka koneksinya melemah, kecuali untuk bahasa “mentalistik’ (kepuasan bukanlah prilaku), karena hal itu sama dengan pengondisian operasi coperant Conditioning)-nya Skiner.

Pada tahun 1929, penelitiannya telah membawanya keluar dari semua dal diatas kecuali apa yang yang kita sebut sekarang dengan penguatan (reinforcement).[4]

Thorndike yang dikenal karena kajiannya tentang Transfer pelatihan (Transfer or Training), kemudian ia percaya (dan masih sering percaya) bahwa mengkaji subjek-subjek sulit meskipun anda tidak akan pernah menggunakannya. Adalah bagus buat anda karena hal itu memperkuat pikiran anda. Hal ini adalah sejenis latihan yang bias memperkuat otot-otot anda. Hal itu kemudian di gunakan kembali untuk membenarkan cara anak belajar bahasa latin, seperti halnya yang digunakan saat ini. untuk membenarkan cara anak belajar kalkulus. Namun dia menyatakan bahwa hanya keserupaan objek kedua dengan yang pertama sama saja yang bias mengarah pada pembelajaran yang meningkat hasilnya dalam subjek kedua. Jadi bahasa latin munglkin membantu anda belajar bahasa Italia, atau belajar aljabar mungkin membantu anda belajar kalkulus, tetapi bahasa latin tidak akan pernah membantu anda belajar kalkulus atau hal-hal lain yang berbeda.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan :

Dari uraian diatas maka dapat diambil berapa kesimpulan :

1. Teori belajar yang dekemukakan Edward Lee Thorndike disebut dengan teori Connectionism atau dapat juga di sebut Trial and Error Learning.

2. Ciri-ciri Belajar dengan Trial and error adalah :

  1. Ada motif pendorong aktivitas
  2. Ada berbagai respon terhadap situasi
  3. Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah
  4. Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan
3. Hukum-hukum yang digunakan Edward Leet adalah hukumm latihan

teori william jems

PRAGMATISME PENDIDIKAN
( Telaah Atas Pemikiran John Dewey )
Oleh: Tauhid Bashori
  1. Pengantar
  2. Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.

    Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Makalah ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan.

  3. Kehidupan John Dewey
  4. John Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi tentang filsafat Kant.

    Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.

    Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.

    Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).

    Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.

  5. Sekilas Tentang Pragmatisme
  6. Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.

    Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.

    Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view (Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).

    Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan: "True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and verify. False ideas are those that we can not" (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).

    Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth.

    Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.

  7. Pemikiran John Dewey Tentang Pendidikan
  1. Pengalaman dan Pertumbuhan
  2. Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan.

    Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.

    Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.

    Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.

  3. Tujuan Pendidikan

Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.

Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.

Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.

Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.

Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama.

Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.

Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.

Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutan pikiran dan benda.

  1. Tinjauan Kritis

Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.

Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, malainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkrit.

Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.

Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.

Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.

Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.

Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis. @



teori maslow

Perilaku manusia modern sudah diamati oleh Abraham Maslow (1908-1970) dengan seksama. Mereka yang mencari penghidupan, mendapatkan sesuatu yang dianggap berharga dan menunjukkan prestasi. Lalu gejala sosial ini digeneralisasi ilmuwan itu hingga terkonstruk seperangkat teori perilaku manusia. Karena itu, kategorisasi yang berbentuk piramida kebutuhan manusia itu sangat akrab bagi ilmuwan lintas-akademis. Demikian terkenalnya, hingga psikolog, ekonom, manajer, politisi, sosiolog, antropolog dan lainnya meminjam Teori Maslow untuk menganalisis disiplin ilmunya.

Bagaimana relevansi teori ini dalam kehidupan manusia? Tulisan ini akan menjadi kritik terhadap teori yang sudah sedemikian mapan dan dianut oleh hampir seluruh intelektual ketika mendefinisikan manusia. Hal ini akan menjadi menarik jika teori Maslow dikaitkan dengan (ibadah) puasa yang saat ini dijalankan oleh kaum muslimin sedunia. Ada koreksi fundamental ketika memperhadapkan vis-a-vis antara teori Maslow dengan pemahaman puasa dalam Islam.

Maslow mengatakan bahwa perilaku manusia dimotivasi oleh sesuatu yang mendasar. Secara berurutan dari bawah yaitu fisiologi (makan, minum, seks), rasa aman, kasih sayang, harga diri dan aktulisasi diri. Puncak tertingginya adalah aktualisasi diri. Seorang manusia sudah tidak berfikir tentang harga diri, jika dirinya bisa menuangkan idealisme, berkonsentrasi penuh dalam aktivitas yang dicintainya. Sebagaimana ilustrasi seorang profesor filsafat yang mengajar dengan baju sederhana dan hanya menaiki sepeda.

Sebaliknya, motivasi dasar seorang manusia yang melakukan tindak pencurian, mayoritas adalah karena rasa lapar. Ketiadaan bahan makanan membuat mereka termotivasi mengambil yang bukan haknya. Gerombolan perampok selalu diawali karena kepapaan kolektif, kemiskinan yang marak menggejala. Sehingga selalu saja, alasan tindak kejahatan mayoritas adalah soal ekonomi yang minim.

Seorang pencuri ketika digelandang polisi, mungkin masih bisa tersenyum bahkan tertawa-tawa. Hal itu, karena dia tidak membutuhkan rasa aman atau harga diri. Bandingkan dengan mayoritas kita yang menyelamatkan muka dari malu adalah tindakan yang utama. Digelandang polisi adalah sebuah hal yang sangat memalukan. Gengsi itu bagian dari piramida ketiga Maslow.

Di sini muncul sebuah konklusi, harusnya rasa lapar menimbulkan efek kemarahan atau keinginan memberontak. Ini logika umum yang terjadi dalam kasus pencurian. Rasa lapar menciptakan imajinasi dan keinginan yang sewaktu-waktu laten bisa muncul dalam diri seseorang. Tetapi, yang menjadi ambigu adalah ketika seorang muslim berpuasa (yang artinya berada dalam kelaparan selama sehari penuh), justru menciptakan ketenangan.

Di wilayah ini, teori Maslow mendapat sanggahan secara praktikal dari kalangan muslimin. Karena justru dalam praktek sejarah, banyak sekali para pelaku jalan spiritual melakukan tindak kelaparan ini untuk menaikkan derajat kemanusiaan, menghaluskan budi, menerawang masa depan, menjernihkan nurani dan mencapai posisi mutmainnah (ketenangan) batin. Mereka yang disebut sufi menjadi lapar dan sekaligus sholeh. Justru bukan brutal, marah atau anarkis.

Sharpening The Saw

Di Barat, banyak orang yang belum memahami inti dari (ibadah) puasa dalam Islam. Mereka mengira pemeluk Islam yang bersengaja mengosongkan perut seharian penuh adalah para penganut mashocist, yaitu kaum yang suka menyakiti diri sendiri. Penjelasan rasional apapun belum bisa diterima. Mereka akan diam jika seorang muslim katakan, ”saya seorang mashocist”. Karena memilih untuk menganut sebuah praktek kehidupan adalah bagian dari demokrasi personal yang harus dihormati. Padahal, pemahaman itu sangat salah.

Ramadhan adalah saat dimana terjadi pengasahan kepekaan spiritual dan intelektual. Siklus hidup diatur sedemikian rupa, laku ritual dinaikkan intensitasnya. Sementara membelenggu ledakan keinginan negatif dilakukan dengan ketat. Menjadi lapar adalah pilihan, tapi berbeda dengan lapar biasa, dalam Ramadhan warna, nilai dan spirit yang dikedepankan adalah ihsan. Perasaan selalu berada dalam pengawasan (demi) Tuhan.

Itulah sebabnya, teori yang memiliki korelasi dengan puasa justru adalah langkah ketujuh dari The Seven Habits: The Most Effective People (1997) karangan Steven R. Covey, yaitu “mengasah gergaji” (sharpen the saw). Kebiasaan mengasah gergaji dihasilkan dari kemampuan pembaruan diri yang diaktualkan secara optimal. Dikatakan kebiasaan efektif karena dengan terus mengasah gergaji (baca: pengembangan diri) dapat mengurangi kemungkinan yang menyebabkan kegagalan atau kelambanan menyelesaikan masalah akibat perubahan keadaan.

Salah satu kebiasaan efektif yang mampu merubah manusia menjadi berhasil adalah kemampuannya untuk mengasah terus menerus segala tools of life yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Termasuk dalam hal ini adalah jasad, kepekaan intelektual dan ruh spiritual. Model pelatihan itu sudah didesain sedemikian rupa berbentuk siklus tahunan.

Kehidupan adalah panggung masalah. Banyak profesional di dunia modern setelah mendapatkan seluruhnya, justru mengalami kegamangan. Padahal kebutuhan fisiologis (rumah, makana, minum, seks, dll) serta hierarki Maslow di atasnya sudah terpenuhi. Bahkan mereka sudah beraktualisasi diri, yaitu tingkat tertinggi dari hierarki Maslow.

Puasa Ramadhan benar-benar menjadi arena penyadaran. Dalam satu bulan siklus tahunan itu, disadarkan bahwa makan, minum dan seks bukanlah kebutuhan utama. Puasa meningkatkan derajat kebutuhan manusia kepada jenjang yang lebih tinggi, yaitu “pengabdian total pada Tuhan”. Sayang, motivasi ini tidak tertera dalam puncak piramida Maslow.

Tetapi untunglah, sempat diceritakan dalam buku Stephen R. Covey dan Roger Merill yang berjudul First Things First (sekuel Seven Habits), Maslow sendiri dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya (wafat 1970), telah merevisi teorinya tersebut. Menurut Covey, Maslow mengakui bahwa aktualisasi diri (self actualization) bukanlah kebutuhan tertinggi. Namun masih ada lagi yang lebih tinggi, yaitu self transcendence atau hidup itu mempunyai suatu tujuan yang lebih tinggi dari dirinya. Mungkin yang dimaksud Maslow adalah kebutuhan mencapai tujuan hidup bertuhan dan beragama, atau yang sekarang lebih dikenal sebagai kebutuhan spiritual.

Demikianlah, jika saja Maslow memahami Ramadhan, niscaya teorinya akan benar-benar berubah. Tujuan tertinggi manusia hidup sejatinya adalah self transcedence. Membersihkan nurani, membebaskan keinginan negatif dan mendamba perjumpaan hakiki dengan Yang Kuasa.[]

teori john dewey

Perbedaan mendasar antara progressivisme John Dewey dan konsep fitrah dalam Islam adalah titik tolak epistemologis masing-masing. John Dewey berangkat dari filsafat pragmatisme yang diukur dengan standar rasional, sedangkan konsep fitrah dalam Islam berangkat dari doktrin-doktrin wahyu (al-Qur'an dan Hadis). Perbedaan titik tolak inilah yang kemudian berimplikasi pada perbedaan konsepsi masing-masing tentang konsep pendidikan.

Sesuai dengan konsepsi progresivisme John Dewey yang telah dijelaskan pada bab III dalam buku ini, ada beberapa perbedaan yang dapat disimpulkan. Pertama, Kedudukan pendidikan menurut progresivisme secara umum, lebih berorientasi pada kehidupan duniawi. Berbeda dengan konsep fitrah dalam Islam, kedudukan pendidikan dalam Islam adalah suatu sarana untuk mendalami agama, mengenai Allah, dan mengenai dirinya. Kedua, konsep demokrasi dalam pendidikan lebih dipahami oleh Dewey dengan memberikan materi pendidikan sesuai dengan keinginan anak didik. Hal ini berbeda dengan konsep fitrah dalam Islam yang lebih mengarahkan anak didik pada tujuan-tujuan keagamaan. Tingkat pemahaman dan pengetahuan anak didik tetap menjadi pertimbangan, namun ada arahan yang jelas untuk mengembangkan anak didik sesuai dengan tujuan-tujuan keagamaan.

Ketiga, Konsep fitrah dalam Islam tidak sepakat dengan pandangan Dewey bahwa kebudayaan itu menentukan sifat-sifat manusia. Manusialah yang membentuk kebudayaan. Maka kemajuan dan kemunduran sifat-sifat manusia tidak ditentukan oleh kebudayaan, tetapi ditentukan oleh tingkat konsistensi Manusia terhadap fitrahnya.

Keempat, Konsep fitrah dalam Islam tidak sepakat dengan pandangan Dewey Bahwa kemerdekaan adalah hak mutlak manusia. Kalimat itu masih harus dilanjutkan “kebebasan mutlak ini disertai dengan kemampuan untuk memilih”. Kemerdekaan manusia berada dalam memilih secara berfikir untuk menghormati hukum-hukum yang diwahyukan dan mengetahui perintah-perintah Tuhan. Predistinasi bukan determinasi mekanis akan tetapi pilihan yang bersandar kepada fikiran.

Kelima, Konsep fitrah dalam Islam melihat bahwa pemikiran progressivisme Dewey telah dicemari oleh faham atheisme. Hal ini sebagaimana dukungan Dewey terhadap pandangan yang menyatakan hubungan demokrasi dengan kapitalisme, yang dianggap sebagai dua hal yang bersepupu bila ditinjau dari sifat-sifat manusia, sehingga seumpama yang pertama dibunuh, yang kedua juga turut terbunuh.