Selasa, 27 Mei 2008

perenialism

Sedangkan perenialism menghendaki pendidikan kembali pada jiwa yang menguasai abad pertengahan, karena ia merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tatanan kehidupan yang ditentukan secara rasional. Dan rekonstruksionalism menginginkan pendidikan yang membangkitkan kemampuan peserta didik untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai dampak dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana bebas (Imam Barnadib, 1987: 26). Akan tetapi kemudian yang menjadi sebuah pertanyaan, di antara empat aliran tersebut, mana yang secara ideal bisa dijadikan dasar filosofis pendidikan Islam?

Yang jelas adalah bahwa konsep pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan Barat. Pendidikan Islam dalam hal ini sangat memerlukan intervensi wahyu dalam menjawab masalah pendidikan. Sementara pendidikan Barat lebih menonjolkan dan mengagungkan rasio, lewat para pakarnya, tanpa konsultasi dengan wahyu (Muhaimin, 1991: 18).

Namun yang perlu dimengerti bahwa ketika pendidikan Islam dihadapkan pada problem dasar pendidikannya, maka menurut Naquib al Attas dan al Jamaly cenderung kearah progresivisme dan perenialisme/essensialisme (Muhaimin, 2003: 28). Sementara bagi Muhaimin dapat dikatakan bahwa konsep dasar filosofis pengembangan kurikulum pendidikan Islam dilandasi oleh paduan dari progresivisme dan essensialisme plus. Progresivisme plus berarti bahwa pengembangan kurikulum pendidikan Islam menempatkan anak didik sebagai individu yang mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam rangka meraih kebahagiaan hidupnya. Dalam rangka meraih itu diperlukanm terobosan dan gagasan yang handal dalam rangka memnuhi tuntutan jaman. Tetapi kemudian tak dapat dipungkiri bahwa terobosan tersebut sering sangat peka dan sangat rentan. Sehingga dalam hal ini diperlukan kendali berupa esensi-esensi berupa nilai–nilai ilahi serta insani yang bersumber dari Allah dan rasul-Nya. Sehingga di sinilah essensialisme plus mengambil perannya (Muhaimin, 1991: 22-23).

Sementara itu tujuan pendidikan merupakan landasan bagi pemilihan materi serta strategi penyampaian materi terseburt. Tujuan akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen lainnya. Tujuan pendidikan harus berorientasi pada pada hakekat pendidikan yang meliputi beberapa aspek, antara lain: tujuan dan tugas hidup manusia, memperlihatkan sifat-sifat dasar (nature) manusia, tuntutan masyarakat, serta dimensi-dimensi kehiduapn ideal Islam (Fu’adi, 2003: 428-429). Dengan memperhatikan hakekat pendidikan Islam tersebut, akan didapatkan sebuah gambaran bagaimanakah seharusnya suatu suatu tujuan pendidikan dirumuskan, agar tujuan pendidikan benar-benar cocok untuk direalisasikan.

Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Menurut Hummel, seperti dikutip Akhmad Sudrajat, tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:

1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.

2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.

3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)

Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.

Sementara itu, terkait dengan tujuan pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip Maksum pada dasarnya adalah tujuan hidup manusia itu sendiri, sebagaimana tersirat dalam Q.S. al Dzariyat ayat 51 :

وما خلقت الجنّ والإنس إلاّ ليعبدون ( الذاريات : 51)

Artinya : “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembahku”.

Bagi Langgulung tugas pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia (Maksum, 1999: 45). Selain itu masih banyak para pakar yang memberikan rumusan tentang tujuan pendidikan Islam seperti: Imam al Ghazali, Alamsyah Ratu Prawiranegara, Moh. Athiyah al Abrosyi, Abdurrahman Nahlawy, Moh. Said Ramdhan El Buthi, Zakiyah Daradjat, dan lainnya.

Namun dari rumusan para pakar tersebut, sebenarnya bisa ditegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam bila ditinjau dari cakupannya dibagi menjadi tiga yaitu (1) dimensi imanitas, (2) dimensi jiwa dan pandangan hidup Islami (3) dimensi kemajuan yang peka terhadap perkebmangan IPTEK serta perubahan yang ada. Sedangkan bila dilihat dari segi kebutuhan ada dimensi individual dan dimensi sosial (Muhaimin, 1991: 30).

Tidak ada komentar: